Tentara Masuk Urusan Sipil: Perlu atau Berbahaya ?

UU baru memberi ruang besar bagi tentara di urusan sipil. Sigap dan disiplin, tapi apa jadinya jika mereka ikut mengatur kehidupan sehari-hari kita ? Kontroversi UU baru: tentara kini bisa ikut campur dalam urusan sipil, dari pembangunan hingga keamanan publik. Apakah ini langkah tepat atau ancaman demokrasi? Baca pro-kontra, risiko, hingga solusi agar rakyat tetap jadi yang utama.

Sep 26, 2025 - 03:06
Sep 26, 2025 - 03:07
 0  3
Tentara Masuk Urusan Sipil: Perlu atau Berbahaya ?

Pernahkah kamu merasa lega melihat tentara turun langsung saat bencana? Rasanya cepat, sigap, dan pasti. Tapi, bagaimana jika mereka bukan hanya hadir saat bencana, melainkan juga ikut mengatur pendidikan, keamanan sehari-hari, bahkan kebijakan sosial? Inilah dilema yang kini kita hadapi. Undang-Undang baru yang memperluas peran militer ke ranah sipil sedang jadi sorotan. Ada yang menyambut dengan optimis, ada pula yang menolak keras. Yuk, kita bongkar sisi terang dan gelapnya aturan ini, lalu kita cari sama-sama bagaimana cara agar rakyat tetap jadi yang utama.


Mengapa UU Ini Muncul?

Pemerintah beralasan, ancaman saat ini tidak lagi bersifat tradisional. Serangan fisik antarnegara jarang terjadi. Tantangan baru justru datang dari bencana alam, terorisme, konflik horizontal, dan serangan siber. Militer dianggap memiliki kapasitas, infrastruktur, serta kedisiplinan untuk terlibat dalam urusan tersebut.

Dengan UU baru ini, pemerintah berharap militer bisa jadi tangan kanan lembaga sipil untuk mempercepat respons dan mengatasi keterbatasan birokrasi yang sering dianggap lamban.


Pihak yang Mendukung

Bagi pihak pro, kehadiran militer di ranah sipil justru menambah rasa aman. Mereka menilai, dalam banyak situasi darurat, aparat sipil sering kewalahan. Militer dengan sumber daya besar bisa menutup celah itu.

Contoh nyata bisa dilihat saat bencana tsunami Aceh tahun 2004 atau gempa Palu tahun 2018, di mana tentara menjadi tulang punggung evakuasi dan pemulihan. Bayangkan jika peran itu diformalisasi dalam UU, tentu koordinasi lebih rapi dan hasilnya lebih maksimal.

Selain itu, ada argumen bahwa pembangunan nasional butuh dukungan militer. Di daerah terpencil, misalnya, hanya militer yang punya akses logistik untuk membuka jalan atau menjangkau wilayah terisolasi.


Pihak yang Menolak

Namun, kelompok kontra punya kekhawatiran serius. Mereka menyoroti:

  1. Demokrasi Bisa Terganggu – Militer bukan lembaga yang biasa bekerja dengan prinsip transparansi publik. Jika diberi peran besar, pengawasan publik bisa melemah.

  2. Tumpang Tindih Fungsi – Polisi sudah ada untuk keamanan sipil, kementerian sudah ada untuk urusan pembangunan. Kehadiran militer bisa membuat fungsi sipil dianggap tidak relevan.

  3. Trauma Historis – Indonesia pernah mengalami masa di mana militer terlalu dominan, bahkan di politik. Kekhawatiran bahwa hal itu terulang sangat besar.


Risiko Nyata Jika Tak Dikawal

Jika aturan ini tidak memiliki pengawasan ketat, ada beberapa risiko:

  • Reduksi Peran Sipil: Lembaga sipil bisa kehilangan wibawa dan dianggap tidak efektif.

  • Represi Kebebasan: Suara kritis masyarakat bisa ditekan dengan alasan “mengganggu stabilitas.”

  • Politik yang Terkontaminasi: Elite politik bisa menggunakan militer untuk kepentingan mereka.


Apa Manfaat yang Bisa Dirasakan?

Di sisi lain, kita juga harus objektif. Ada potensi manfaat yang nyata:

  • Respons Cepat Bencana: Tidak ada institusi yang bisa bergerak secepat militer dalam kondisi darurat.

  • Efisiensi Pembangunan: Dengan disiplin dan logistik militer, pembangunan di daerah sulit bisa lebih lancar.

  • Rasa Aman: Masyarakat bisa merasa lebih tenang jika ada tentara di sekitar mereka.


Bagaimana Negara Lain?

  • Filipina: Militer sering terlibat dalam penanggulangan bencana, tapi jarang masuk ke ranah politik sipil.

  • Myanmar: Justru jadi contoh buruk, ketika militer terlalu dominan hingga menghambat demokrasi.

  • Amerika Serikat: Militer berperan besar dalam operasi luar negeri, tapi ranah sipil tetap dipegang aparat sipil.

Indonesia perlu belajar dari perbandingan ini: militer bisa membantu, tapi jangan sampai menguasai.


Solusi yang Bisa Dijalankan

Agar UU ini tidak berubah jadi masalah, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

  1. Aturan Teknis yang Ketat – Harus ada regulasi jelas tentang batasan peran militer di ranah sipil.

  2. Kolaborasi, Bukan Substitusi – Militer mendukung, bukan menggantikan. Lembaga sipil harus tetap jadi aktor utama.

  3. Pengawasan Publik – DPR, media, dan masyarakat sipil harus diberi ruang besar untuk mengawasi keterlibatan militer.


Penutup (CTA)

Kita, sebagai rakyat, bukan penonton pasif. Suara kita bisa menentukan apakah UU ini akan membawa manfaat atau justru masalah. Mari aktif berdiskusi, menyuarakan pendapat, dan ikut mengawal jalannya aturan ini. Karena pada akhirnya, semua keputusan hukum seharusnya dibuat untuk rakyat, bukan atas nama rakyat.

Bagaimana menurutmu, lebih penting militer memperluas peran, atau justru memperkuat sipil agar lebih mandiri?

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow