RUU Pers: Perlukah Aturan Baru untuk Media Online?
Artikel ini mengulas alasan revisi UU Pers diajukan, pro dan kontra dari berbagai pihak, serta alternatif solusi tanpa mengurangi kebebasan pers yang sudah ada. RUU Pers diusulkan untuk atur media online. Perlukah aturan baru atau justru ancaman? Baca ulasan pro-kontra dan solusi revisi UU Pers di artikel ini.

Media online kini tumbuh bak jamur di musim hujan. Setiap hari muncul portal baru, dari yang serius menyajikan berita hingga yang hanya mengejar klik dengan judul bombastis. Di tengah arus informasi tak terbendung ini, IMO-Indonesia mengusulkan revisi UU Pers No. 40 Tahun 1999. Katanya, aturan lama tak lagi relevan dengan kondisi sekarang. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah revisi ini benar-benar solusi atau justru bisa menjadi ancaman? Artikel ini mencoba mengupas dengan bahasa sederhana agar masyarakat bisa menilai sendiri: perlukah kita menyambut revisi ini dengan tangan terbuka atau penuh waspada?
Masalah Utama
UU Pers lama dibuat saat internet belum menjadi bagian penting dari media. Akibatnya, banyak celah hukum:
-
Media online yang tak jelas legalitasnya.
-
Wartawan yang tidak diakui keberadaannya secara formal.
-
Penyebaran hoaks tanpa mekanisme kontrol jelas.
IMO-Indonesia menilai inilah alasan revisi harus dilakukan.
Poin Usulan IMO-Indonesia
-
Kejelasan legalitas media online. Agar tak sembarang orang bisa mendirikan “media abal-abal.”
-
Perlindungan digital untuk jurnalis. Supaya wartawan tak gampang dijerat UU ITE.
-
Sistem penyelesaian sengketa lebih modern. Karena Dewan Pers dianggap belum maksimal mengatur ranah online.
Kekhawatiran Publik
Namun, banyak aktivis pers menilai revisi justru rawan disusupi kepentingan politik. Apa bahayanya?
-
Pasal karet. Jika ada aturan yang multitafsir, pemerintah bisa menekan media kritis.
-
Beban administratif. Media kecil bisa tersingkir hanya karena tak mampu memenuhi syarat formal.
-
Ancaman sensor. Jika semua harus sesuai regulasi, apakah opini bebas masih bisa dipublikasikan?
Solusi yang Mungkin
Daripada langsung mengubah UU, mengapa tidak memperkuat peraturan turunan, misalnya Peraturan Dewan Pers? Dengan begitu, perbaikan bisa dilakukan tanpa mengutak-atik “roh” kebebasan pers.
Penutup dan CTA
RUU Pers adalah isu yang menyangkut kita semua. Jika kebebasan media berkurang, suara masyarakat ikut teredam. Jangan sampai revisi ini menjadi pintu masuk kembalinya praktik pembungkaman.
Sebagai pembaca, mari kita kritis. Diskusikan, bagikan informasi, dan kawal proses revisi ini. Karena tanpa pers yang bebas, suara kita hanya akan jadi bisikan yang tak terdengar.
What's Your Reaction?






